Penulis: Ikhwanul Halim
Genre: Novelet, Sastra
12cmx17cm; 92 halaman, paperback
Kisah dalam buku ini sepenuhnya fiksi. Jika seperti ada inspirasi dari peristiwa dan nama lokasi yang serupa dengan dunia nyata, merupakan hal yang tak bisa dielakkan.
Tak terbayangkan saat pertama kali kami pindah ke desa Bungkeh, persis singa yang lahir di kebun binatang dilepas ke rimba.
Ayahku seorang lelaki tampan, bermata biru tajam dengan hidung paruh burung elang. Lumrah saja bagi penduduk desa asalnya di pantai barat Aceh bermata sebiru langit. Ibuku terlalu cantik, bagai bintang film India yang menyabet gelar Ratu Sejagat. Bahkan lebih cantik, karena perutnya tak juga buncit berlemak meski telah memproduksi dua anak laki-laki yang kini remaja puber: aku dan adikku.
Tokoh Fahri (Aku) membuka cerita dengan kepindahannya dari ibukota provinsi ke sebuah desa, di pesisir pantai utara Aceh. Tapi tokoh sentral di sini bukan hanya ‘aku’, namun seorang temannya yang bernama Ranto, yang bercita-cita jadi petinju profesional.
“Panggil aku ‘Retak’,” katanya sambil memberikan senyuman paling hangat yang pernah kulihat. Tingginya lebih dari 190 sentimeter dengan bobot 110 kilogram. Rambutnya kaku bergelombang, merah tembaga akibat terbakar matahari. Matanya yang biru lazuli berkilauan memancarkan kepolosan bocah. Sisa wajahnya babak belur seperti korban tabrak lari.
Kondisi psikologis para tokoh di sebuah desa di tengah perubahan budaya karena kehadiran perusahaan tambang gas alam asing dan dilatarbelakangi konflik digambarkan dengan halus oleh penulis yang lebih dikenal dengan puisi-puisi dan fiksi fantasi. Buku ini merupakan cerita panjang pertama karyanya yang bergenre sastra.
Selain tokoh utama ‘Aku’ dan Ranto, ada Maryam, gadis remaja bertubuh ringkih yang menjadi kekasih Ranto. Nuriah, sahabat Maryam, gadis remaja yang dewasa melampaui umurnya.
Terdapat juga tokoh Feri Gunawan, lelaki tua yang suka mengumbar nafsu. Rey, seorang pendatang, pecandu narkoba yang dicurigai sebagai mata-mata aparat.
Konflik tidak disodorkan secara banal, namun samar dan lembut. Misalnya sebagai kutipan judul berita koran imajiner.
“Overdosis Membunuh Gadis yang Menanti di Pintu Surga”, tajuk utama di surat kabar setempat adalah buah pikir redaktur yang bosan dengan judul bombastis. Visum membenarkannya.
Epilog ditutup dengan kalimat-kalimat liris berikut:
Lagu yang kudengarkan berbeda.
Yang kudengar adalah tembang tentang rasa malu dan sakit hati yang dirasakan sahabat lamaku saat duduk termenung di selnya yang sempit dan lembap. Lirik kedua orang tuaku di rumah lapuk mencoba menemukan kata-kata yang hilang. Nada jatuhnya debu hitam dari rumah Rey yang hangus dan penggantinya yang lebih moderen, rumah minimalis tanpa ornamen neoklasik.
Seluruhnya membentuk simfoni yang terus mengalun dalam sanubariku.
Lagu cinta tanpa henti, tembang kidung bocah dari udik.
*Pertama kali diterbitkan oleh Peniti Media (2017, Jakarta)