Asyari Usman

Asyari Usman

Tulisan-tulisan Asyari Usman hampir seluruhnya berisi kritik terhadap penguasa. Juga kritik terhadap para pemuka sosial-politik yang ia nilai tidak lagi berada di ‘jalan rakyat’. Termasuk yang ‘dikejar’ oleh penulis ini adalah orang-orang yang menyediakan diri untuk mempertahankan penguasa yang dianggap tidak memiliki kompetensi.

Penulis menggunakan halaman Facebook sebagai ‘outlet’ tulisan-tulisannya. Tetapi, hampir semua artikel yang beliau publikasikan di platform media sosial itu diterbitkan oleh banyak media dalam jaringan (daring alias online). Selain itu, banyak pula pemilik akun YouTube yang menjadikan artikel-artikel mantan penyiar/wartawan BBC London ini sebagai naskah yang mereka ubah dalam bentuk suara. Semacam ‘dubbing’, lebih-kurang.

Di halaman FB-nya, artikel-artikel yang ditulis oleh wartawan yang telah mengantongi ‘jam terbang’ yang setara dengan pilot senior itu selalu mendapatkan ‘like’ di angka ribuan. Tidak banyak artikelnya yang tidak viral dengan risiko dicaci maki oleh orang-orang yang merasa tersinggung.

Tulisan Asyari juga pernah membuat seorang politikus meradang. Gara-gara artikel ringannya, penulis ‘diundang’ ke kantor pusat institusi penegak hukum di Jakarta. Penulis dituduh menghina salah seorang ketua umum parpol.

Di halaman FB-nya, penulis mendapatkan ratusan apresiasi atas pencerahan yang ia uraikan di semua tulisannya. Sering pula ratusan bahkan ribuan pembaca membagikan (sharing) tulisan-tulisan yang dirasakan aktual, faktual, dan kontekstual.

Sejarah kewartawanan penulis cukup kaya dengan pengalaman. Beliau menyenangi profesi mulia ini sejak masih di sekolah menengan atas di pertengahan 1970-an. Ia serius mendalami jurnalistik dan tulis-menulis. Asyari kemudian bergabung ke satu surat kabar di Medan, mengurusi berita internasional. Dari sinilah penulis mendapatkan penghargaan UNCA (United Nations Correspondence Association) di markas besar Perseritakan Bangsa-Bangsa (PBB), New York City. Penghargaan itu membuat beliau mendapatkan kesempatan untuk magang di sana selama beberapa bulan pada 1987.

Dalam perjalanan pulang dari NYC ke Medan, pimpinan BBC Indonesia di London menawarkan posisi penyiar radio BBC. Ini terjadi ketika penulis mampir ke markas BBC. Tak lama kemudian, Asyari kembali lagi ke London (1988) untuk memulai penugasan baru itu. Sampai akhirnya penulis ditawari pula pensiun dini pada 2011.

Setahun kemudian (2012), penulis mencoba kembali menetap di Indonesia. Tepatnya di kota asal, Medan. Mungkin karena masih merasa belum bisa pensiun, beliau pun mencoba karir baru yang sama sekali ‘tak nyambung’ dengan jurnalistik dan tulis-menulis. Namun, rupanya, jurnalistik dan tulis-menulis kelihatannya tak bisa lagi dijauhkan dari beliau.

Bisnis kecil-kecilan sana-sini terbukti tidak mampu menggeser semangat Asyari di dunia jurnalistik. Ketika hiruk-pikuk politik semakin menggelegar di Indonesia sejak akhir 2016, penulis kembali menyingsing lengan baju. Kembali ke ‘kubangan’ yang telah dihuninya selama hampir 40 tahun. Dia kembali mengaktifkan ‘mesin tulis’-nya. Sekaligus menekan tombol reaktivasi dunia kewartawanan dan tulis-menulis.

Pertarungan ‘benchmark’ pilkada di DKI dan kemudian dilanjutkan dengan pilpres 2019, membuat penulis hampir tak pernah jedah menuliskan analisis, perspektif politik dan ‘opini rakyat’. Patut dicontoh stamina penulis dalam menuangkan analisisnya hampir setiap hari.



Update Post